Pendekatan spiritual atau religius seringkali menjadi solusi bagi sebagian orang ketika sedang mengalami masalah yang sulit. Dalam momentum Hari Kesehatan Mental Sedunia pada 10 Oktober, benarkah pendekatan agama tepat untuk mengatasi masalah kesehatan mental?

Dalam penanganan masalah kesehatan mental melalui pendekatan agama, Project Leader & Founder Emotional Health For All (EHFA) dan President Indonesian Association for Suicide Prevention dr. Sandersan (Sandy) Onie, menilai pihaknya sering menemukan kejadian diskriminasi yang didasari pada keyakinan yang keliru tentang agama. Misalnya, orang dengan gangguan kesehatan mental dianggap karena kurang imannya.

“Inilah sebabnya mengapa meskipun bertahun-tahun dilakukan pendidikan tentang kesehatan mental, namun kemajuannya sangat lambat,” kata dr. Sandersan dalam keterangan virtual, Senin (10/10).

Menurutnya, masih banyak orang dengan gangguan kesehatan mental yang enggan atau bahkan tidak akan mengunjungi psikolog, melainkan justru berbicara dengan pemuka agama. “Hal ini terlebih karena kita semua menyadari bahwa agama memainkan peran yang besar di Indonesia,” ungkap dr. Sandersan.

Oleh karena itu, EHFA memutuskan untuk mengambil pendekatan radikal mengenai edukasi kesehatan mental yaitu melalui deklarasi pertemuan antar umat agama yang diusung pada tanggal 2-3 Juni 2022 di Lombok sebagai bagian dari acara G20. Deklarasi yang juga disebut sebagai Lombok Declaration ini bertujuan untuk menegaskan bahwa setiap orang di Indonesia, termasuk para psikolog, guru, keluarga, pelajar dapat mencari bantuan kesehatan mental tanpa harus didiskriminasi atau distigmatisasi.

Aktivis HAM dan pegiat inklusi Bahrul Fuad juga menyebutkan selama ini berbagai agama mempercayai bahwa perilaku bunuh diri merupakan perbuatan dosa besar. Sehingga mereka yang mencoba bunuh diri mengalami berbagai jenis stigma dan dipandang buruk. Dan orang yang meninggal karena bunuh diri dilabeli sebagai orang yang tidak bermoral atau memiliki karakter jiwa rendah dan tidak termaafkan.

“Beberapa temuan ilmiah menunjukan bahwa perilaku bunuh diri banyak disebabkan oleh situasi di luar individu yang menyebabkan keguncangan mental atau jiwa dan mendorong seseorang untuk melakukan perilaku bunuh diri,” ujar Bahrul.

Lebih lanjut ia menambahkan di sisi lain, ajaran spiritualitas dan akhlak pada setiap agama yang diejawantahkan dalam sikap sebagai orang beriman seperti; ikhlas, bersyukur, dan menerima ketentuan dari Allah SWT (taqdir), serta tindakan ibadah ritual seperti shalat, puasa, dan berdzikir. Islam mempercayai bahwa sikap dan tindakan tersebut jika dilakukan secara bersungguh-sungguh, maka akan membawa seseorang pada tujuan kehidupan yaitu ketenangan jiwa.

“Pada konteks ini, agama dan tokoh agama memiliki peran yang sangat sentral dalam mendorong pentingnya merawat kesehatan mental dan mencegah perilaku bunuh diri,” katanya.

Ketua Walubi Provinsi Nusa Tenggara Barat, I Wayan Sianto berpendapat bahwa inisiatif deklarasi ini dinilai memberikan solusi yang positif untuk kalangan pemeluk agama Buddha dalam menangani masalah kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa seharusnya bukan dipandang sebagai hal yang memalukan.

“Sudah seharusnya lingkungan dan keluarga berperperan penting untuk mendampingi orang dengan masalah kesehatan jiwa karena keluarga adalah benteng,” kata I Wayan Sianto.

Tokoh agama lainnya Rm. Y. Aristanto selaku Komisi Waligereja Indonesia juga menambahkan bahwa dengan adanya Deklarasi Relio-Mental Health, ini akan memudahkan umat Katolik untuk mengubah perspektif mereka terhadap kesehatan mental ke arah yang lebih baik.

“Ada perubahan paradigma di mana orang dengan masalah kesehatan jiwa dan bunuh diri dianggap dosa. Saat ini, Gereja Katolik telah mengubah perspektif tersebut dengan belas kasih dan penderitaan yang menyelamatkan. Bagaimana orang dengan masalah kesehatan jiwa dibantu untuk memiliki pengharapan,” tutup Rm. Y. Aristanto.

Sumber : https://www.jawapos.com/kesehatan/10/10/2022/bisakah-masalah-kesehatan-mental-diatasi-dengan-pendekatan-agama/